SOLO, solopopuler.com – Pagi itu, udara segar di Plaza Aviary Solo Safari seakan menyatu dengan gemulai gerakan para penari. Suara gemerincing gelang kaki, hentakan musik tradisional, dan sorak-sorai pengunjung memecah kesunyian alam yang biasanya hanya diisi kicau burung dan decak kagum terhadap satwa. Hari Tari Sedunia 2025 dirayakan dengan meriah, bukan di gedung pertunjukan megah, melainkan di tengah-tengah keasrian destinasi wisata yang menyatukan keindahan alam dan kekayaan budaya.
Solo Safari, yang dikenal sebagai rumah bagi ratusan satwa, hari itu berubah menjadi panggung budaya terbuka. Enam sanggar seni dari Surakarta tampil membawakan tarian yang tidak hanya memukau, tetapi juga bercerita.
Seorang penari cilik dengan kostum kelinci melompat-lompat lincah, mengundang tawa anak-anak yang menyaksikan. Di sudut lain, Tari Semut dibawakan dengan penuh harmoni, menggambarkan kebersamaan—nilai yang juga dijunjung tinggi dalam konservasi satwa.
“Ini bukan sekadar pertunjukan, tapi cara kami bercerita tentang alam dan budaya,” ujar
Setyo Wibowo, pelatih salah satu sanggar yang terlibat.
BACA JUGA : Solo Menari Masuk 110 Besar Kharisma Event Nusantara 2025, Diapresiasi Kementerian Pariwisata
Uniknya, beberapa tarian terinspirasi langsung dari kehidupan satwa di Solo Safari. Tari Kupu-Kupu, misalnya, menggambarkan metamorfosis yang selaras dengan pesan konservasi yang diusung tempat ini.
Seorang pengunjung, Rina Wijaya, mengaku terkesan. “Anak saya biasanya hanya excited lihat singa atau gajah. Hari ini dia bilang, ‘Ibu, aku mau belajar tari juga!’”
Flashmob: Tawa yang Menyatukan
Puncak acara adalah flashmob kolosal di mana staff Solo Safari, penari, dan pengunjung menari bersama. Tidak peduli usia, semua bergoyang mengikuti irama. Seorang kakek dengan tongkatnya tersenyum sambil mengangguk-angguk, sementara anak-anak berlarian dengan riang.
” Inilah esensi Hari Tari Sedunia—tarian bukan untuk ditonton, tapi dirasakan bersama,” kata Yustinus Sutrisno, GM Solo Safari.
Acara ini adalah bukti bahwa Solo Safari tidak hanya tentang satwa. Mereka membangun ekosistem di mana edukasi, konservasi, dan budaya hidup berdampingan.
Dengan semakin banyaknya pengunjung yang datang tidak hanya dari Solo tetapi juga kota-kota tetangga, Solo Safari berhasil menciptakan pengalaman wisata yang lengkap: merasakan kedekatan dengan alam, sekaligus mencintai budaya sendiri.
Apa selanjutnya?
Solo Safari berencana menjadikan ini sebagai acara tahunan, dengan format yang lebih besar dan melibatkan lebih banyak komunitas.
” Kami ingin tradisi tidak hanya dilestarikan, tapi juga dinikmati oleh generasi sekarang dengan cara yang menyenangkan,” pungkas Yustinus. (Agung Santoso)