Menuju Net Zero Emission 2060: Indonesia Percepat Transisi Energi di Tengah Tantangan Geopolitik

SURABAYA, solopopuler.com – Indonesia terus mempercepat transisi energi guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Langkah ini tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga mewujudkan swasembada energi nasional.

Pakar Energi Nasional dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof. Mukhtasor, menegaskan bahwa transisi energi bukanlah hal baru, termasuk di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan sumber energi telah terjadi sejak 200 tahun lalu.

“Dulu masyarakat menggunakan kayu dan arang sebagai sumber energi utama. Namun, karena permintaan meningkat, mereka beralih ke batubara yang lebih murah dan efisien. Sejak abad ke-19, penggunaan batubara pun melonjak,” ujar Prof. Mukhtasor saat menjadi narasumber dalam acara Local Media Community (LMC) 2025 bertema Menavigasi Transisi dan Swasembada Energi: Peran dan Peluang Media Lokal di Surabaya, Selasa (5/2/2025).

Acara Local Media Community (LMC) 2025 dengan tema Menavigasi Transisi dan Swasembada Energi: Peran dan Peluang Media Lokal di Surabaya, Selasa (5/2/2025) lalu. (Foto : Agung Santoso)

Kini, lanjutnya, transisi energi beralih dari batubara ke sumber energi terbarukan yang tersedia secara alami dan dapat dimanfaatkan terus-menerus. Namun, perubahan ini tidak lepas dari dinamika geopolitik global.

“Pada era energi fosil, hanya beberapa negara yang memiliki minyak dan batubara. Sementara dalam era energi terbarukan, secara teori, semua negara bisa memanfaatkan sumber daya alamnya. Namun, teknologi pengolahannya masih dikuasai oleh negara-negara tertentu,” jelasnya.

Hal inilah yang menciptakan keseimbangan baru dalam peta energi global. Negara-negara dengan teknologi maju mendominasi sektor energi terbarukan, sementara negara lain tetap bergantung pada impor teknologi tersebut.

BACA JUGA : Pemerintah Targetkan Net Zero Emission di Sektor Pembangkit Listrik pada 2060

Indonesia sendiri telah mengantisipasi tantangan ini sejak dua dekade lalu melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Regulasi ini bertujuan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri agar berkelanjutan dan mampu mengembangkan teknologi energi terbarukan.

“Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Kita dipaksa membeli teknologi dari luar, sehingga industri manufaktur nasional melemah dan kita hanya menjadi pasar,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof. Mukhtasor menyoroti bahwa faktor keterjangkauan harga masih menjadi tantangan utama dalam transisi energi global. Ia mencontohkan krisis energi di Eropa akibat konflik Rusia-Ukraina yang membuat negara-negara kembali mengandalkan batubara dan energi fosil.

“Krisis pasokan gas membuat harga energi melonjak. Akibatnya, Eropa kembali ke batubara. Ini menunjukkan bahwa keterjangkauan harga adalah faktor kunci dalam transisi energi,” pungkasnya. (Agung Santoso)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *