Oleh Agung Santoso
SOLO, solopopuler.com — Kamis pagi di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tak hanya dipenuhi derap langkah calon mahasiswa baru. Ada getar semangat yang terasa berbeda dari ruang-ruang ujian UTBK-SNBT hari itu. Di antara peserta yang hadir, tampak wajah-wajah penuh tekad, datang bukan hanya membawa pensil dan kartu ujian, tapi juga mimpi yang dibalut perjuangan luar biasa. Mereka adalah peserta disabilitas—pejuang sunyi yang melangkah pasti menuju masa depan.
Muhammad Ulil Anwar, siswa asal Pemalang, menjadi satu dari mereka. Mengenakan seragam rapi dan tongkat penuntun, Ulil hadir dengan semangat yang membara. Ia tidak hanya ingin lulus UTBK, tapi punya cita-cita besar: menjadi guru Pendidikan Luar Biasa (PLB). Inspirasi itu datang dari sosok gurunya—penyandang tunanetra yang tak hanya mengajar, tetapi juga membimbing dan menjadi sahabat.
“Beliau bukan hanya guru di kelas, tapi juga inspirasi hidup saya. Dari beliau, saya belajar bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi,” kata Ulil sambil tersenyum di depan Gedung Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi (DTIK) UNS.
Ulil bukan satu-satunya yang menolak kalah pada keadaan. Shelvy Eightiarini dari Karanganyar dan Wahyu Dhian Artikasari juga hadir sebagai bagian dari peserta UTBK inklusif. Shelvy, dengan mantap menyebut cita-citanya menjadi psikolog. Meski kemudian diarahkan untuk memilih jalur Bimbingan dan Konseling, semangatnya tak surut.
“Kalau saya bisa jadi konselor, saya bisa membantu siswa-siswi menghadapi masalahnya, memberi dukungan, dan membuat mereka merasa tidak sendiri,” tutur Shelvy dengan mata berbinar.

UTBK tahun ini di UNS menjadi bukti nyata inklusivitas. Dari total 10 peserta disabilitas—terdiri dari 6 tunanetra, 3 tuna rungu, dan 1 tuna daksa—seluruhnya mendapatkan fasilitas khusus. Komputer dengan aplikasi pembaca layar NonVisual Desktop Access (NVDA), pendamping teknis yang sigap, hingga suasana ruang yang tenang dan ramah disabilitas, menjadi bagian dari komitmen UNS untuk mewujudkan akses pendidikan yang setara.
“Saya memilih ujian di UNS karena banyak yang bilang tempat ini paling ramah disabilitas. Alhamdulillah benar. NVDA-nya lancar, komputer mudah dipakai, dan saya merasa diperhatikan,” ujar Ulil.
BACA JUGA : 31.490 Peserta Ikuti UTBK 2025 di UNS Surakarta, Rektor Sebut Kenaikan Jumlah Peserta
Senada dengan Ulil, Tika—peserta tunanetra dari Sleman—merasa lega dengan fasilitas yang disediakan. “Selama ujian, saya nyaman dan tidak merasa berbeda. Tim UNS sangat membantu,” katanya.
Di tengah hingar bingar dunia pendidikan yang seringkali menyisakan mereka yang memiliki kebutuhan khusus, kisah Ulil, Shelvy, dan Tika adalah pengingat bahwa mimpi bisa tumbuh di mana saja, bahkan dari keterbatasan. Bahwa perjuangan menuju ruang ujian bagi mereka bukan hanya soal akademik, tetapi juga perjalanan panjang melewati stigma dan batasan.
“Untuk teman-teman yang akan ujian, jaga kesehatan, siapkan diri sebaik mungkin, dan jangan pernah menyerah,” pesan Ulil, menutup kisahnya.
Langkah mereka mungkin pelan, tapi tekad mereka tak tergoyahkan. Dan di balik tembok kampus yang ramah, UNS menjadi tempat di mana harapan tumbuh dan mimpi-mimpi besar mulai dirangkai.